Nasional, FaktaBMR.com – Dilansir dari Detik.com, Ekonom memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini maksimal tumbuh di 4,9%. Dengan berbagai tantangan yang ada, pemerintah dirasa sulit mendorong ekonomi tumbuh di kisaran 5%. Padahal tahun ini targetnya 5,3%.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menjelaskan, tanpa adanya wabah virus corona (Covid-19) saja, kemungkinan besar pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 akan lebih rendah dibandingkan 2019.
“Sebelum ada Corona kita sudah memprediksikan (pertumbuhan ekonomi) 4,9%. Sebelum Corona di akhir tahun lalu ya 4,9% sampai 5% sih, tapi artinya lebih rendah dibandingkan tahun 2019 lalu kan 5,02%. Sekarang kalau di bawah itu kan berarti lebih rendah, berarti di bawah 5% (yaitu) 4,9%,” kata dia saat dihubungi detikcom, Minggu (8/3/2020).
Apalagi setelah munculnya wabah virus Corona hingga ada warga Indonesia yang dinyatakan positif terjangkit Covid-19. Itu membuat perekonomian Indonesia semakin tertekan.
“Nah setelah corona (muncul) kemungkinannya (pertumbuhan ekonomi) lebih rendah lagi dari 4,9%. Jadi maksimal 4,9% gitu. Nah seberapa lebih rendahnya dibandingkan 4,9% itu tergantung dari seberapa lama dampak coronanya atau penanggulangan daripada wabah coronanya,” jelasnya.
Untuk pengaruh jangka pendek saja, dia memperkirakan efek corona akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya di kisaran 4,7% sampai 4,8%. Apalagi jika efeknya berlangsung lama, dampaknya akan lebih signifikan.
“Kalau lebih cepat kemungkinan juga perlambatannya tidak terlalu dalam. Jadi mungkin (ekonomi tumbuh) 4,7-4,8%. Tapi kalau (efek corona) lama ya bisa lebih rendah lagi daripada itu,” tambahnya.
Ada ancaman pengangguran di tengah perlambatan ekonomi?
Ekonom CORE Mohammad Faisal menjelaskan ada sejumlah dampak negatif jika pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat. Pertama adalah ancaman pengangguran.
“Pertumbuhan penduduk kita kan 1,4% ya, 1,5%. Berarti setiap tahun akan ada tambahan orang yang masuk ke pasar kerja. Kalau pertumbuhan ekonominya tidak cukup tinggi maka ini dikhawatirkan penciptaan lapangan pekerjaan juga tidak cukup banyak,” kata dia saat dihubungi detikcom, Minggu (8/3/2020).
Apalagi menurutnya saat ini kecenderungan investasi di Indonesia masuk ke sektor padat modal yang serapan tenaga kerjanya lebih rendah ketimbang sektor padat karya.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang melambat akan membuat Indonesia sulit meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan menjadi negara berpendapatan tinggi (high income). Saat ini Indonesia baru masuk ke negara dengan pendapatan menengah ke atas (upper-middle income) dari sebelumnya lower-middle income.
Dia menjelaskan untuk menjadi negara high income, Indonesia harus memiliki pendapatan per kapita sekitar US$ 12.000. Sementara saat ini posisinya masih di US$ 4.000. Untuk memacu itu perlu pertumbuhan ekonomi yang lebih pesat.
“Jadi artinya kalau (ekonomi) kita hanya tumbuh segini saja, kita butuh berpuluh-puluh tahun, bisa jadi setengah abad lebih untuk mencapai (high income) itu,” tambahnya.
Bisakah Indonesia berharap pada Omnibus Law? Jawabannya ada di halaman selanjutnya.
Pemerintah saat ini sedang menyiapkan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law tentang Cipta Kerja dan Omnibus Law Perpajakan. Undang-undang sapu jagat itu diharapkan mampu memacu perekonomian Indonesia.
“Memang banyak hal yang bisa diperbaiki, banyak harapan. Investor itu sebetulnya itu banyak berharap dari Omnibus Law ya, dari memperbaiki iklim usahanya sampai ketenagakerjaannya, agar lebih kompetitif lah Indonesia ini,” kata Ekonom CORE Mohammad Faisal saat dihubungi detikcom, Minggu (8/3/2020).
Namun Omnibus Law masih dalam proses. Belum dapat dipastikan kapan aturan tersebut rampung dan siap diimplementasikan. Kalau pun bisa rampung tahun ini, implementasinya belum tentu berjalan mulus.
“Kalau pun bisa dieksekusi tahun ini, ini permasalahannya kan lebih banyak lagi, bukan hanya masalah regulasi ya, masalah implementasi itu adalah isu yang lain. Nah implementasi di lapangan, di daerah-daerah. Nah ini kan tidak bisa diatasi semata-mata hanya dengan Omnibus Law,” jelasnya.
Tapi paling tidak, menurutnya jika Omnibus Law ini bisa dijalankan seharusnya mampu memperbaiki berbagai kelemahan yang ada di Indonesia, terutama dari sisi regulasi.
Pekerjaan rumahnya tinggal bagaimana pemerintah pusat bisa melibatkan para pihak untuk memuluskan implementasi Omnibus Law. Dengan begitu kebijakan di undang-undang tersebut bisa berjalan sesuai yang diharapkan.
“Nah ini yang harus diperbaiki, harus lebih banyak meng-engage (mengikutsertakan) berbagai macam pihak. Kalau itu bisa dilakukan berarti akan menekan resistensi. Ini sangat penting supaya bisa dijalankan secara efektif. Kalau itu bisa jalan kan semestinya investasi bisa lebih baik pertumbuhan,” tambahnya.
(Sumber : Detik.com)