Nasional, FataBMR.com – Dilansir dari cnbcindonesia.com, Juru Bicara Pemerintah RI untuk Covid-19, Achmad Yurianto mengatakan bahwa opsi lockdown untuk memberantas penyebaran virus corona di tanah air terlalu ekstrem. Hal ini yang menjadi dasar Presiden Jokowi tak berpikir pada kebijakan lockdown.
“Di dalam penyakit menular yang kemudian masif, lockdown itu merupakan salah satu alternatif dan ini alternatif paling ekstrem. Oleh karena itu kita tidak akan menuju ke sana karena harus ada alternatif-alternatif yang lebih rasional yang harus kita kerjakan,” ujarnya, di acara Hitam Putih yang tayang 18 Maret 2020.
Ia menerangkan lockdown bukan hanya menutup penyebaran tetapi seluruh kehidupan ditutup, seperti masuknya bahan pokok makanan, bisnis, dan sebagainya.
“Sederhana saja, kalau ada pasokan air minum dari luar Jakarta nggak bisa masuk. Pasokan LPG nggak bisa masuk karena betul-betul ditutup. Oleh karena itu bukan pilihan yang terbaik ini adalah yang ekstrem,” kata pria yang akrab disapa Yuri.
Menurutnya, untuk saat ini, pilihan untuk mengurangi kemungkinan orang untuk bisa kontak dekat atau yang disebut pembatasan sosial (social distancing) lebih dianjurkan.
Menghindari kerumunan, mengurangi berada ditempat-tempat umum, bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah dari rumah merupakan bentuk dari social distancing.
Yuri berharap bahwa masyarakat di Indonesia mampu melakukan social distancing dengan baik dan ia yakin cara ini dapat berhasil meredam penyebaran virus corona.
Selain itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah memerintahkan melakukan rapid test dengan cakupan skala yang besar untuk deteksi dini pasien yang kemungkinan terpapar virus corona atau COVID-19. Hal ini sukses diterapkan di Korea Selatan (Korsel).
“Segera lakukan rapid test. Tes cepat dengan cakupan yang lebih besar agar deteksi dini, kemungkinan awal seorang terpapar COVID-19 bisa kita lakukan,” tegas Jokowi, Kamis (19/3/2002).
Jokowi meminta agar pemeriksaan tersebut bisa diperbanyak di sejumlah tempat untuk melakukan tes yang melibatkan sejumlah pemangku kepentingan terkait, tak terkecuali lembaga riset maupun perguruan tinggi.
“Saya minta rapid test terus diperbanyak dan juga diperbanyak di tempat-tempat untuk melakukan tes dan melibatkan rumah sakit baik pemerintah, milik BUMN, pemerintah daerah, rumah sakit milik TNI, Polri, dan swasta yang mendapatkan rekomendasi Kementerian Kesehatan,” jelasnya.
(Sumber : cnbcindonesia.com)