KOTAMOBAGU – Kisruh pergantian posisi ketua DPR Kota Kotamobagu pasca ditinggalkan ketua yang lama Ahmad Sabir rupanya masih saja terus bergulir, bahkan dikabarkan pergantian itu makin tidak jelas kapan akan terjadi pengisian.
Belum diketahui apa alasannya, bahkan PAN sendiri sebagai partai pemilik kursi ketua DPRD terlihat tidak bisa berbuat apa – apa dengan pergantian ketua ini.
Sementara diketahui Surat Rekomendasi dari DPP PAN telah diterbitkan dengan Nomor PAN/A/KU-SJ/100/VIII/2018, tertanggal 29 Agustus 2018 yang ditandatangani Ketua Umum Zulkifli Hasan dan Sekjen Edi Soeparno, perihal Persetujuan Ketua DPRD dari Fraksi PAN Atasterjadi Nama Ahmad Sabir Digantikan Anugrah Begie Chandra Gobel dan dimasukan pada 17 September 2018 dengan nomor berkas 548, namun sayangnya hingga kini belum ada kejelasan.
Sekretaris DPR Kotamobagu, Husain Mamonto ketika dimintai keterangan mengatakan surat pergantian ketua DPR saat sudah diserahkan kepada dua pimpinan DPRD yakni Jelantik Mokodompit dan Diana Roring.
” Aturannyakan harus ada persetujuan dari kedua pimpinan dan surat pergantiannya kami sudah serahkan ke mereka tinggal tunggu persetujuan mereka baru setelah itu kami sebagai sekretariat DPR akan segera memprosesnya,” Tutur Mamonto.
Diketahui juga, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Tata Tertib DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota, serta Tata Tertib DPRD Kota Kotamobagu yang sudah direvisi, waktu untuk memproses usulan hak partai politik untuk pimpinan DPRD (begitupun PAW) di DPRD hanya tujuh hari.
Namun disayangkan sudah memasuki dua bulan ini masih saja tertahan dan belum ditandatangani oleh kedua pimpinan dengan alasan yang tidak jelas, Itu artinya hak partai pemenang Pemilu legislatif 2014 ini Seperti terpasung.
Wakil Sekretaris DPD PAN Kota Kotamobagu Moh. Julianto sangat menyayangkan hal ini. Menurut Julianto, pihaknya sudah menyiapkan langkah untuk memperjuangkan hak partainya. Apalagi bingkai aturan perundang-undangan yang berlaku memberikan garansi. “UU Pemda, UU MD3, PP 12/2018, dan Tatib DPRD,” kata kader Muhammadiyah ini.
Julianto melanjutkan, dari sisi administrasi, tak digubrisnya surat parpolnya itu mengindikasikan terjadinya praktek mal-administrasi, sebagaimama diatur Pasal 1 angka 3 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman. Dalam aturan itu disebutkan, perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau kewajiban pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan.
Dia menambahkan, mal-administrasi yang dilakukan atas hak parpolnya banyak, sebagaimana diatur UU Nomor 37/2008, mulai dari tindakan yang janggal (inappropriate), sewenang-wenang (arbitrary), melanggar ketentuan (irregular), penyalahgunaan wewenang (abuse of powe), atau keterlambatan yang tidak perlu (undue delay). “Tinggal kita masuk dari sisi yang mana, atau malah semuanya. Yang pasti pimpinan dan Sekwan bisa kena pidana. Belum UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik” lugas Julianto.