Kotamobagu, FaktaBMR.com – Pemerintah Kotamobagu merevisi Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) wilayah Kotamobagu 2014 – 2034.
Kepala Bidang Tata Ruang Kotamobagu, Zanti Arfa, menyampaikan dalam kajian pada tahun 2019 sudah menyusun peninjauan kembali mengenai RTRW tahun 2014.
“Dalam hasil kajian RTRW tersebut terdapat poin-poin dimana data-data pendukung kajian didalam buku RTRW tahun 2014 sudah tidak sesuai dengan pedoman penyusunan RTRW yang baru sehingga perlu dilakukan revisi,” ujar Zanti, saat FGD di Aula Bappelitbanda. Selasa (07/07/2020).
Selain itu, perlunya Revisi ini juga karena sudah tidak sesuainya lahan dan batas wilayah Kotamobagu yang berubah dari 68 Km² menjadi 108 Km² atau sekitar 40ribu hektar.
Penyusunan RTRW ini juga sesuai dengan amanat UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana setiap Kabupaten/Kota diwajibkan untuk menyusun rencana Tata Ruang, mulai dari Rencana Tata Ruang Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
“Dimana setiap rencana tata ruang tersebut untuk setiap lima tahun dilakukan peninjauan kembali, seperti apakah pasal – pasal didalam Perda yang sudah ada mengalami perubahan atau tidak,” ujarnya.
“Revisi Perda RTRW ini juga boleh cuma dilakukan perubahan pasal yang nilainya kurang dari 85 persen. Tapi setelah dilakukan peninjauan kembali di Kotamobagu nilainya kurang dari 85 persen jadi diwajibkan adanya revisi RTRW,” ungkapnya.
Manfaat dan Dampak RTRW
RTRW ini juga berguna untuk ijin pembangunan sebab jika membangun tidak sesuai dengan arah pemanfaatan ruang bisa juga berdampak akan adanya bencana seperti banjir maupun longsor.
“Karena dari RTRW tersebut dapat diketahui lahan tersebut apakah lahan lindung atau lahan budidaya. Lahan Lindung itu tidak boleh dibangun apapun karena untuk menjaga daerah resapan air agar mata air juga tetap terjaga, udara juga bisa dihirup dengan segar. Kalau kawasan lahan budidaya boleh dibangun tetapi tetap ada aturan atau kebijakan yang berlaku,” terangnya.
RTRW Kotamobagu dari 2014 hingga sekarang sudah mengalami perubahan bahkan ada pembangunan yang menyalahi aturan RTRW.
“Di Kotamobagu yang banyak pelanggaran RTRW yakni sempadan (garis batas) sungai, sempadan mata air, dan sempadan lahan basah pertanian seperti lahan sawah yang sudah berubah fungsi menjadi permukiman,” jelasnya.
“Jadi urgenitas itulah yang mendorong harus dilakukannya revisi karena jangan sampai lahan tersebut akan merusak lingkungan yang nantinya bisa berdampak pada kita sendiri atau masyarakat yang ada di Kotamobagu ini,” imbuhnya.
Pentingnya Legislasi RTRW
Hasil revisi RTRW ini akan mengeluarkan pengendalian ruang dan arah pemanfaatan ruang yang sudah ada, maupun sisa ruang yang ada untuk dapat diketahui sesuai dengan masukan rekomendasi, supaya tidak mengangu lingkungan dan tetap berkelanjutan, “karena ini juga untuk masa depan dan anak cuci kita kedepan,” tegasnya.
Setelah dilakukan revisi RTRW ini akan dilakukan legislasi, “namun proses legislasi tidak semudah yang dulu jadi perlu dilakukan eksistensi ke Kementerian karena harus disingkronkan dengan RTRW nasional yang sudah disusun,” ungkapnya.
Ketika sudah mendapatkan koreksi, saran dan rekomendasi dalam menyusun, baru bisa melaksanakan tahapan selanjutnya untuk di bahas di Dewan untuk mendapatkan legislasi.
“Tapi sebelum dilakukan legislasi, kami juga harus mengantongi rekomendasi dari Gubernur karena rekomendasi tersebut berguna dan berfungsi supaya kedepan lingkungan tetap terjaga dan berkelanjutan dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah sedangkan lahan tidak akan bertambah, jadi harus diatur,” pungkasnya.