Nasiona, FaktaBMR – Dilansir dari Liputan6.com, Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM-SPSI) tengah khawatir menghadapi berbagai regulasi yang dinilai menghambat keberlangsungan industri tembakau.
Regulasi tersebut mulai dari kenaikan harga jual eceran (HJE), rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012, hingga rencana ekstensifikasi cukai.
Ketua Umum PP FSP RTMM-SPSI Sudarto mengatakan kenaikan tarif cukai dan HJE ibarat agenda tahunan yang memukul Industri Hasil Tembakau (IHT). Beleid tersebut berimbas pada pengurangan produksi, khususnya industri sigaret kretek tangan (SKT) dan berdampak pada efisiensi tenaga kerja.
Berdasarkan data FSP RTMM-SPSI selama 10 tahun terakhir, ada 63 ribu pekerja rokok yang terpaksa kehilangan pekerjaan. Jumlah industri pun berkurang dari 4.700 perusahaan menjadi sekitar 700 di 2019.
“Penyesuaian tarif cukai dan HJE berdasarkan target penerimaan dalam APBN/APBN menyulitkan kalangan industri dalam merencanakan produksi dan penetapan harga jual produk. Kami setiap tahun selalu mendorong agar kenaikannya moderat dan kalau memungkinkan berdasarkan nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” ujar Sudarto dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu, (14/3/2020).
Paling parah, lanjut dia, dialami oleh sektor SKT. Sebab 92 persen tenaga kerja IHT berasal dari sektor ini, dan 100 persen bahan baku SKT berasal dari dalam negeri.
Rencana revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang dirasa kian eksesif juga menjadi perhatian FSP RTMM-SPSI. Peraturan-peraturan ini dinilai membuat IHT berjalan abnormal.
Tolak Ekstensifikasi Cukai
Sementara, beleid KTR yang dijalankan oleh 340 pemerintah daerah dianggap tidak tepat karena tidak mengacu pada ketentuan PP 109/2012. Meski hasil pungutan cukai dan pajak atas produk rokok telah berkontribusi besar terhadap daerah dan negara.
Terkait penetapan cukai baru (ekstensifikasi cukai) pada produk plastik dan minuman berpemanis serta emisi CO2, Sudarto juga menyatakan penolakannya.
Menurutnya penetapan kebijakan baru hendaknya mempertimbangkan hasil studi yang mendalam, sasaran yang hendak dicapai, dan akibat-akibat yang ditimbulkan.
“FSP RTMM-SPSI berharap pemerintah menjaga kelangsungan IHT dan industri makanan dan minuman yang merupakan ladang penghidupan jutaan masyarakat Indonesia. Regulasi yang dibuat pemerintah hendaknya juga mempertimbangkan kepentingan semua pihak, terutama tenaga kerja dalam memperoleh penghidupan yang layak,” tutup Sudarto.
(Sumber : Liputan6.com)